JAKARTA, iNewsWayKanan.id - Tragedi 30 September 1965 menjadi sejarah kelam tersendiri bagi bangsa Indonesia, 30 September 2022.
Kali ini, media iNewsWayKanan.id akan membahas serta mengulas tentang 7 Pahlawan Revolusi korban G30S PKI tersebut.
Meski ada beragam versi, peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat (AD) itu diyakini sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertujuan untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, peristiwa berdarah tersebut kemudian dinamai sebagai G30S PKI. Lantas, siapa saja enam jenderal dan satu perwira yang menjadi korban dan kini dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
7 korban tersebut di antaranya adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A Tendean.
Berikut ini adalah profil singkat 7 Pahlawan Revolusi yang dilansir iNews.id dari Kemdikbud, Kamis (29/9/2022)
1. Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani
Ahmad Yani adalah petinggi TNI AD di masa Orde Lama yang lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922. Saat muda, Ahmad Yani menempuh pendidikan Heiho di Magelang dan pembela tanah air (Peta) di Bogor.
Setelah itu, Ahmad Yani berkarier di militer dan turut terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun 1948. Tak hanya itu, ia juga ikut dalam mengatasi Agresi Militer Belanda II, dan penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958, Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat. Misi utamanya adalah menumpas pemberontakan PRRI di sana.
Ia kemudian diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tahun 1962. Namun pada tahun 1965, nama Ahmad Yani terseret dalam daftar Dewan Jenderal yang disebut ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Oleh sebab itu, ia turut menjadi korban pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.
Suprapto merupakan perwira tinggi yang lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada 20 Juni 1920. Riwayat pendidikan militernya adalah di Akademi Militer Kerajaan Bandung, tetapi tidak sampai tuntas lantaran pendaratan Jepang pada 1942.
Pada masa awal kemerdekaan, Suprapto aktif dalam upaya pelucutan senjata dari pasukan Jepang di Cilacap. Suprapto kemudian masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut andil dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Kariernya militernya kian cemerlang. Saa PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto keras menolaknya. Ia menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di kawasan Lubang Buaya. Pangkat terakhirnya adalah Mayjen sebelum diberi gelar anumerta Letnan Jenderal (Letjen)setelah meninggal.
3. Letjen (Anumerta) S. Parman
Siswondo Parman atau yang dikenal dengan S. Parman merupakan salah satu petinggi TNI AD di masa Orde Lama yang juga turut menjadi korban G30S. Ia lahir Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918.
Pendidikan militernya sebenarnya lebih fokus di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk misi memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai.
Pengalamannya di bidang intelijen sangat penting bagi TNI saat itu. Ia disebut telah mengetahui rencana-rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima. Nahas, ia diculik dan dibunuh bersama para jenderal lain pada 1 Oktober 1965 dini hari. Pangkat terakhirnya adalah Mayjen sebelum diberi gelar anumerta Letnan Jenderal (Letjen) setelah meninggal.
4. Letjen (Anumerta) M.T. Haryono
Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal dengan M. T. Haryono lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. Haryono pernah mengikuti Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta pada masa pendudukan Jepang.
Baru setelah kemerdekaan Indonesia, M. T. Haryono terjun ke militer dengan bergabung bersama TKR dan meraih pangkat Mayor.
Ia piawai dalam berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Haryono kemudian fokus di Kementerian Pertahanan dan sempat menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Pada tahun 1950, ia kemudian menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda dan Direktur Intendans dan Deputi Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat tahun 1964. Nahas, di tahun M. T. Haryono gugur di tahun 1965 bersama dengan para petinggi TNI AD lain.
Pangkat terakhirnya adalah Mayjen sebelum diberi gelar anumerta Letnan Jenderal setelah meninggal. Pangkat terakhirnya adalah Mayjen sebelum diberi gelar anumerta Letnan Jenderal (Letjen) setelah meninggal.
5. Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan
Donald Ignatius Panjaitan atau D. I. Panjaitan adalah perwira yang lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Saat pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan militer Gyugun.
D.I. Panjaitan sempat ditempatkan di Pekanbaru, Riau hingga masa proklamasi kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, ia ikut dalam membentuk TKR dan memiliki karier cemerlang di militer.
Menjelang akhir hayatnya, D.I. Panjaitan diangkat menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan memperoleh tugas belajar ke Amerika Serikat. Pangkat terakhirnya adalah Brigjen sebelum diberi gelar anumerta Mayor Jenderal (Mayjen) setelah meninggal.
6. Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta saat masa pendudukan Jepang dan menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sutoyo masuk TKR bagian Kepolisian dan akhirnya menjadi anggota Korps Polisi Militer. Ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.
Kariernya terus melesat hingga tahun 1961 diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Sayangnya,Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima juga harus ikut gugur dalam peristiwa G30S. Pangkat terakhirnya adalah Brigjen sebelum diberi gelar anumerta Mayor Jenderal (Mayjen) setelah meninggal.
7. Kapten (Anumerta) Pierre Tendean
Piere Tendean adalah perwira muda yang lahir 21 Februari 1939 di Jakarta. Setelah mengikuti pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik tahun 1962, ia lalu menjabat sebagai Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.
Perwira berdarah Prancis itu pernah ditugaskan untuk menyusup ke daerah Malaysia ketika sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Pada bulan April 1965, perwira muda nan tampan itu diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution.
Ketika bertugas, Pierre Tendean tak bernasib baik karena tertangkap oleh kelompok G30S. Ia disebut mengaku sebagai A. H. Nasution dan mengorbankan nyawa untuk melindungi jenderalnya. Pangkat terakhirnya adalah Letnan Satu (Lettu) sebelum diberi gelar anumerta Kapten setelah meninggal.
Itulah 7 Pahlawan Revolusi korban G30S PKI dalam tragedi 30 September 1965. Selain 7 orang tersebut, ada tiga korban lain di antaranya adalah Brigjen (Anumerta) Katamso, A.I.P. II (Anumerta) K. S. Tubun, dan Kolonel (Anumerta) Sugiyono.
Editor : Yuswantoro
Artikel Terkait