Panitia pembangunan Monas dinamakan ”Tim Yuri” yang diketuai langsung Presiden Soekarno. Melalui tim ini, sayembara diselenggarakan dua kali. Sayembara pertama digelar pada 17 Februari 1955, dan sayembara kedua digelar 10 Mei 1960.
Namun, dua kali sayembara digelar, tidak ada rancangan yang memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan panitia. Akhirnya, ketua Tim Yuri menunjuk beberapa arsitek ternama yaitu Soedarsono dan Frederich Silaban untuk menggambar rencana Tugu Monas. Kedua arsitek itu sepakat membuat gambarnya sendiri-sendiri yang selanjutnya diajukan kepada Bung Karno yang kemudian memilih gambar karya Soedarsono.
Dalam rancangannya, Soedarsono mengemukakan landasan pemikiran yang mengakomodasi keinginan panitia. Landasan pemikiran itu meliputi kriteria nasional.
Soedarsono mengambil beberapa unsur saat Proklamasi Kemerdekaan RI yang mewujudkan revolusi nasional sedapat mungkin menerapkannya pada dimensi arsitekturnya, yaitu angka 17, 8, dan 45 sebagai angka keramat Hari Proklamasi.
Bentuk tugu yang menjulang tinggi mengandung falsafah “Lingga dan Yoni” yang menyerupai “Alu” sebagai “Lingga” dan bentuk wadah (cawan-red) berupa ruangan menyerupai “Lumpang” sebagai “Yoni”.
Alu dan Lumpang yaitu dua alat penting yang dimiliki setiap keluarga di Indonesia khususnya rakyat pedesaan. Lingga dan Yoni merupakan simbol dari zaman dahulu yang menggambarkan kehidupan abadi. Unsur positif (lingga) dan unsur negatif (yoni) seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk merupakan keabadian dunia.
Bentuk seluruh garis-garis arsitektur tugu ini mewujudkan garis-garis yang bergerak tidak monoton merata, naik melengkung, melompat, merata lagi, dan naik menjulang tinggi. Akhirnya garis-garis itu menggelombang di atas bentuk lidah api yang menyala.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait