Setelah itu, Ahmad Yani berkarier di militer dan turut terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun 1948. Tak hanya itu, ia juga ikut dalam mengatasi Agresi Militer Belanda II, dan penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958, Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat. Misi utamanya adalah menumpas pemberontakan PRRI di sana.
Ia kemudian diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tahun 1962. Namun pada tahun 1965, nama Ahmad Yani terseret dalam daftar Dewan Jenderal yang disebut ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Oleh sebab itu, ia turut menjadi korban pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.
Suprapto merupakan perwira tinggi yang lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada 20 Juni 1920. Riwayat pendidikan militernya adalah di Akademi Militer Kerajaan Bandung, tetapi tidak sampai tuntas lantaran pendaratan Jepang pada 1942.
Pada masa awal kemerdekaan, Suprapto aktif dalam upaya pelucutan senjata dari pasukan Jepang di Cilacap. Suprapto kemudian masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut andil dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Kariernya militernya kian cemerlang. Saa PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto keras menolaknya. Ia menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di kawasan Lubang Buaya. Pangkat terakhirnya adalah Mayjen sebelum diberi gelar anumerta Letnan Jenderal (Letjen)setelah meninggal.
3. Letjen (Anumerta) S. Parman
Siswondo Parman atau yang dikenal dengan S. Parman merupakan salah satu petinggi TNI AD di masa Orde Lama yang juga turut menjadi korban G30S. Ia lahir Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918.
Pendidikan militernya sebenarnya lebih fokus di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk misi memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai.
Editor : Yuswantoro
Artikel Terkait