Travel Blogger Ceritakan Keseruan Wisata Alam di Way Kanan

Tim iNews.id Way Kanan
Warna batu yang berlapis-lapis itu juga jadi salah satu kelebihan Putri Malu. Tampak seperti granit yang dibungkus oleh tanaman atau mungkin rumput yang menempel dan tumbuh di sana sini. (Foto: Dok. Annie Nugraha)

Dan, keseruan itupun dimulai.

Tak usah menunggu lama membayangkan encok, latihan melalui jalanan kaya lubang pun, saya rasakan ketika menuju Desa Jukuh Batu.  Meliuk kesana kemari, mobil kami terpaksa menghindari kawah kecil khas jalanan di Lampung. Setidaknya perjuangan menuju TKP pertama menjadi try-out  ke fakta yang sebenarnya.  

Hampir 1 jam kedepan, kami pun tiba di rumah Pak Daruni, mantan Kepala Kampung Desa Jukuh Batu, titik dimana semua kontingen Putri Malu berkumpul.  Terlihat beberapa bikers dari klub motor trail Way Kanan Tribal Chapter lengkap dengan kostum khas biker  telah menunggu kami.  

Beberapa motor bebek modifikasi dan roda yang dirantai sudah siap dengan tampilannya yang gagak.  Apa?? rantai??  Saya mendadak melonjak kaget.  Kalo sampai harus siap-siap dengan rantai, berarti medan tempuhnya berat banget nih.  Rantai yang dipasang di roda biasanya untuk menghindari motor terpeleset karena licinnya jalan dan tidak adanya titik cengkram roda terutama pada saat turun hujan atau jalanan becek.  Sekali lagi mental saya serasa diadu.

Bakal sanggup gak yah fisik dan mental si anak kolong yang satu ini?

Tapi demi melihat si Putri Malu yang katanya cantik bak khayangan, apalah artinya mental tempe yang gak perlu itu.  Malu dong sama kelakuan.  Katanya jagoan.  

Yok aahh mari kita kemon.

Menuju Putri Malu.  Adventure yang sesungguhnya

Memilih motor trail tinggi, roda yang bergerigi sempurna dan mamas yang tinggi kekar, setidaknya secara outlook saya sudah aman.  Kenapa harus tinggi? Ya iyalah.  Dengan postur motor setinggi itu, saya memperhitungkan bahwa dengan kaki jenjang, si pengendara tidak akan mengalami kesulitan ketika motor tidak stabil.  Paling enggak kakinya gak celamitan mencari titik pijakan saat motor oleng.  Teknik ini ternyata ampuh karena saya termasuk sebagian kecil dari manusia yang gak mengalami jatuh dari motor.  Kebayang, betapa repotnya orang-orang jika saya jatuh berdentum dari motor dengan tulang belulang dalam usia maghrib. Amit-amit ah.

Cerita legenda dari mulut Katerina mengenai perjuangan menuju TKP langsung terbukti 5 menit setelah kami berangkat.  Belum juga 10 menit mengarungi bahtera rumah tangga, maaf, jalanan yang penuh nista ini, saya sudah sibuk ingin menitipkan nomor telepon suami dan alamat rumah kepada Budi, biker yang membonceng saya saat itu.  Budi pun mendadak ngakak terpingkal-pingkal dengan bahu bergetar-getar.

"Oi, yang bener bae Buk.  Baru jugo lewat rute naik turun, Ibuk la ketakutan.  Di depan gek jalanannya lebih saro dari yang ini"

Dan saya pun jadi tambah merana.  Niat meninggalkan surat wasiat bermaterai pun tetiba terlintas di depan mata.  Tapi dimana bisa menemukan kertas bersegel dan materai 6.000 di tempat seperti ini?

"Dem lah Buk.  Diem-diem bae di belakang.  Aku ni la ratusan kali bolak balik Putri Malu tuh.  La kenal baek samo jalanannyo.  Ibuk bedoa bae".  Suara Budi dengan logat Semendo, suku dominan di Desa Dukuh Batu ini, membuat saya terkekeh-kekeh.

Sebagai anak keturunan Sumatera Selatan, saya tidak menemui masalah untuk berkomunikasi dengan mereka.  Logat dan bahasa Semendo tidaklah berbeda jauh dengan bahasa Palembang dan desa Pagaralam dimana almarhum Ayah saya dilahirkan.

Etdaaahh.  Bener juga yak.  Kalaupun saya mundur teratur, apa kata dunia.  Terutama sama Katerina yang terlihat bagai anak SMP dan berbodi ringan.  Anak kecil itu aja berani, kok saya cemen.

Akhirnya dengan membaca Alfatihah berulang-ulang, acara boncengan pun berlanjut hingga mencapai Putri Malu.  Itupun setelah sempat hampir tergelincir karena turun dari motor yang tingginya, sumpah, nauzubillahminzalik.  Entah seberapa kuat cengkraman tangan saya ke lengan Budi sampe akhirnya saya sadar itu laki orang meringis kesakitan.  Sayapun kembali terkekeh-kekeh karena dendam dibonceng gonjang ganjing tanpa ampun.

Mau tau bagaimana medan jalur yang kami lewati untuk mencapai Putri Malu? Yok liat foto-foto dari Katerina berikut ini.  Saya?? Boro-boro mau motret.  Dua tangan kekar saya aja gak pernah lepas dari bahu Budi.  Yang kata Budi, seperti dihantam godam dari angkasa.  Alamak!!


Jembatan kayu menuju Air Terjun Putri Malu. (Foto: dok. Annie Nugraha)

Yang pasti sebagian besar rute yang kami lewati adalah hutan-hutan kecil, beberapa sungai tanpa air yang deras, tanjakan maupun turunan dengan batu-batu koral, dan beberapa kali bertemu dengan jalan becek tanah liat yang tampak melambai-lambai berharap ada orang yang jatuh.  Bener-bener wisata yang pas untuk mereka yang mencintai dunia petualangan.

Dalam beberapa area jangkauan, mata juga dimanjakan dengan pemandangan kebun kopi dan teh yang membentang indah.  Walau diliputi kekhawatiran jatuh berkali-kali, kebun-kebun ini mendadak melahirkan ide-ide liar yang terus berputar di kepala.  Pemikiran yang tercatat baik di dalam otak saya, sampai saatnya punya waktu yang tepat untuk menyampaikannya kepada Wan Yazed, yang kala itu menjabat Sekretaris Dispar Way Kanan, dan Ibu Henny, putri daerah Banjit, tuan rumah kami saat itu.

Editor : A. Natalis Sapta Aji

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4 5 6

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network