“Kita harus hadapi ‘Post-truth’ atau kebenaran baru yang berasal dari hasil framing. Post-truth adalah pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media sebagai arus utama dan para pembuat opini,” tutur Rulli.
Menurutnya, masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Karena sering kali berita palsu menyebar lebih cepat daripada fakta yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh kemudahan berbagi informasi tanpa verifikasi yang memadai di media sosial, “Maka kita harus meluruskan mana berita yang benar, bukan hanya untuk kepentingan LDII tapi juga untuk kepentingan masyarakat,” lanjutnya.
Pelatihan selama tiga hari itu tidak hanya diikuti peserta dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), namun juga daerah lain seperti Karawang, Bandung, Banjarnegara, Pemalang, Magelang, Yogyakarta, Madiun, Kediri, Nganjuk, Jombang, Sumenep, Denpasar dan Polewali Mandar.
“Kita harus meningkatkan keterampilan literasi digital. Keterampilan ini melibatkan kemampuan masyarakat untuk menyaring dan menggunakan informasi dengan bijak dalam menggunakan media sosial,” kata Rulli.
Ia mengatakan LDII, juga sebagaimana ormas lainnya, kerap menjadi sasaran post truth, untuk itu perlu memberikan informasi kepada seluruh warga bahwa tidak semua yang disebarkan itu memang benar terjadi, “Kita perlu literasi digital dalam rangka bisa memilah dan memilih sesuatu yang benar dan memanfaatkan teknologi digital,” tegasnya.
Editor : Yuswantoro
Artikel Terkait